Sumatra Bersuara; Panggilan dari Bumi Leluhur

Masyarakat adat Sihaporas di Kabupaten Simalungun menggelar ritual ‘Mombang Boru Sipitu Sundut’. Photo : Tonggo Simangunsong/ projectmultatuli.org

Oleh Juni Patoean Albaumi

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Horas! Tabik! Njuah-juah! Salam Adat untuk seluruh Tanah Sumatra!

Kami berdiri di sini,
bukan sebagai utusan masa lalu,
tetapi sebagai suara dari tanah yang telah lama dibungkam.
Dari Aceh sampai ke Lampung,
dari Minangkabau, Palembang, Mandailing, hingga Deli
Sumatra bukan wilayah tanpa bentuk
kami adalah negeri-negeri adat yang telah berdiri tegak jauh sebelum republik ini berdiri.

Kami punya raja, sutan, datuk, penghulu, sultan, dan tetua adat.
Kami punya hukum adat, tanah ulayat.
Kami punya tatanan yang sah dan berdaulat
namun semuanya dirampas atas nama republik,
sementara satu wilayah diberi keistimewaan penuh: Yogyakarta.

Lihatlah Yogyakarta!
Ketika republik menggempur dan merobohkan seluruh sistem adat di Sumatra,
Yogyakarta dibiarkan tetap berdiri, dijaga, disanjung, dan diangkat.
Inilah buah dari kelicikan politik yang tidak hanya licik, tapi juga licin dan sistematis.
Yogyakarta dijadikan simbol “kesetiaan” untuk menyingkirkan negeri-negeri adat lainnya.
Ia dijadikan dasar pengukuhan satu kekuasaan sebagai identitas politik nasional,
sementara kami masyarakat adat Sumatra dihapus dari peta kekuasaan.

Dan yang paling menyakitkan:
Di Yogyakarta, hukum nasional tidak diterapkan sepenuhnya.
Mereka memiliki otonomi, pengakuan hukum adat, dan struktur kekuasaan turun-temurun yang dilestarikan.
Sementara di tanah warisan leluhur kami, hukum nasional dipaksakan sepenuhnya.
Kami dipaksa tunduk pada sistem hukum yang tidak lahir dari bumi kami, tidak dibentuk oleh leluhur kami.
Kami dipaksa melupakan hukum adat kami sendiri, diganti dengan sistem legal yang tidak berpijak pada sejarah dan jati diri kami.
Itu bukan hukum bangsa kami itu adalah penindasan dalam bentuk undang-undang.

Identitas Indonesia yang dibangun hari ini bukan cermin dari kami,
tapi cermin dari satu tempat bernama Yogyakarta.
Dialah fondasi simbolik negara ini sementara kami dibungkam dan didegradasi menjadi “kebudayaan lokal”.
Kami bukan kebudayaan. Kami adalah bangsa. Kami adalah negeri. Kami adalah kekuasaan.

Maka hari ini,
kami menuntut hak untuk memulihkan diri bukan meminta pengakuan,
tetapi menuntut kembali hak kami sebagai bangsa yang merdeka dalam tanahnya sendiri.
Kami menuntut sistem hukum kami kembali.
Kami menuntut pemerintahan adat kami ditegakkan kembali.
Kami menuntut status kami sebagai negeri yang sah, di dalam negara yang kami ikut bangun.

Jika negara ini terus mengabaikan kami,
maka kami akan bersuara dalam sistem federal.
Kami akan menata ulang tanah kami dengan cara kami sendiri.
Kami tidak akan meminta. Kami akan mengambil kembali.

Ingat ini: kami tidak pernah menyerah.
Kami hanya menunggu waktu untuk bangkit kembali.

Horas! Tabik! Njuah-juah! Merdeka dalam adat! Merdeka dalam jati diri!

  • Juni Patoean Albaumi

Ahli waris Kerajaan Harajaon Luat Marancar yang bergelar Patuan Kumala Pontas Soaduon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *