
Masyarakat adat berunjuk rasa ke Mapolres dan kantor Bupati Humbang Hasundutan, Sumatra Utara. Photo : Mongabay.co.id
Oleh Juni Patoean Albaumi
Empat langkah awal menuju kebangkitan Negara Federal Kesatuan Adat Sumatra.
SUMATRA BANGKIT DARI AKARNYA: MENGANGKAT BATANG TERENDAM
Dari Aceh hingga Lampung, dari pesisir hingga pegunungan, dari kota hingga ke pelosok kampung.
Suara dari tanah Sumatra kembali bergema. Bukan suara elite, bukan suara partai, bukan suara lembaga negara.
Ini adalah suara akar. Suara yang lahir dari tanah yang diinjak, dari air yang diminum, dari pohon yang ditanam, dari leluhur yang telah lama memanggil dalam sunyi.
Kita, rakyat adat Sumatra, tidak sedang meminta. Kita sedang mengingatkan.
Bahwa tanah ini bukan warisan untuk dijual, tapi titipan untuk dijaga.
Bahwa adat bukan masa lalu yang harus ditinggal, melainkan fondasi untuk masa depan yang bermartabat.
Bahwa negeri-negeri adat kita, yang diberkahi oleh sumber alam yang melimpah ruah, bukan milik partai politik atau para penguasa korporasi,
melainkan milik rakyat adat, milik anak cucu, milik semua yang hidup dan akan hidup dari bumi ini.
Namun apa yang terjadi hari ini?
Negara modern yang dibangun atas nama kemajuan justru menjadikan kami tamu di tanah sendiri.
Sistem kekuasaan yang berlapis-lapis hanya melayani segelintir elit.
Keadilan tak lagi turun dari langit karena hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Korupsi merajalela di seluruh instrumen administratif pemerintahan.
Kami yang menjaga hutan dituduh perambah. Kami yang mempertahankan tanah disebut pengganggu investasi.
Kami yang menyuarakan hak disebut anti-negara.
Padahal negara yang menindas rakyat adat, adalah negara yang kehilangan akar sejarahnya sendiri.
MENGAPA KITA HARUS KEMBALI KE AKAR?
Karena adat bukan hanya soal pakaian tradisional atau tarian daerah.
Adat adalah sistem hidup. Adat adalah hukum. Adat adalah ekologi. Adat adalah solidaritas.
Adat adalah cara kita menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan roh leluhur.
Saat negara modern gagal memberi keadilan, adat adalah jawaban.
Saat sistem hukum negara hanya menjadi alat kekuasaan, hukum adat tetap setia menjaga harmoni.
Saat pendidikan nasional menjauhkan anak-anak dari tanah dan sejarahnya, sekolah adat menjadi benteng ingatan.
Mengangkat batang terendam harus dilakukan bersama-sama.
Ia tidak bisa dilakukan oleh segelintir orang, atau satu komunitas saja.
Ini adalah kerja kolektif seluruh rakyat adat Sumatra, dari hulu ke hilir, dari tua ke muda.
Karena batang yang terendam itu bukan hanya sejarah kita tetapi masa depan kita juga.
JALAN PERJUANGAN
- Bentuk Forum Rakyat Adat Lintas Wilayah
Kita tidak bisa berdiri sendiri. Setiap wilayah adat baik itu kesultanan, harajaon, atau nagari adalah satu simpul kekuatan dalam anyaman besar bernama Sumatra.
Maka, kita harus duduk bersama. Dari Aceh, Mandailing, Minangkabau, Kerinci, Melayu, hingga Lampung.
Forum Rakyat Adat Lintas Wilayah harus dibentuk, bukan sebagai organisasi elitis, tapi sebagai wadah kolektif untuk bersuara, merumuskan arah perjuangan, dan menyatukan gerak.
Forum ini berdiri atas prinsip musyawarah, kesetaraan, dan saling menghormati kedaulatan lokal.
Di sinilah kekuatan itu akan lahir: ketika kita tahu bahwa yang kita hadapi bukan hanya perusahaan tambang, bukan hanya birokrasi korup, tapi sistem kolonial yang bersembunyi di balik wajah negara modern.
Forum ini adalah tambo baru, tempat kita menulis ulang masa depan kita sendiri.
- Adakan Musyawarah Besar Antar Kesultanan, Harajaon, dan Nagari
Zaman dulu, musyawarah besar adalah titik puncak dari kebijaksanaan kolektif.
Bukan hanya duduk bersila dan berbicara, tetapi menggali suara bumi, menimbang petuah leluhur, dan menyatukan hati untuk mengambil satu keputusan besar.
Kini, kita harus hidupkan kembali semangat itu.
Musyawarah besar antar wilayah adat bukan hanya pertemuan tokoh adat, tapi pertemuan seluruh lapisan masyarakat: para tua-tua, pemuda-pemudi, petani, nelayan, pedagang pasar, dan guru adat.
Di sini kita rumuskan piagam perjuangan, arah perlawanan, dan konsensus tentang masa depan tanah ini.
Musyawarah ini adalah konstituante rakyat adat. Ini adalah sidang agung leluhur.
- Dirikan Sekolah Adat dan Pusat Kebudayaan
Sekolah-sekolah nasional tak lagi mengajarkan tentang kampung halaman.
Buku-buku pelajaran melupakan sungai tempat kita mandi, bukit tempat kita berkebun, dan bahasa ibu tempat doa pertama kita dilantunkan.
Maka kita bangun kembali: sekolah adat.
Sekolah yang mengajarkan sejarah kita sendiri.
Sekolah yang menyambungkan anak-anak dengan tanahnya, dengan bahasanya, dengan sistem hukum dan ekologi warisan leluhurnya.
Di sampingnya berdiri Pusat Kebudayaan bukan tempat yang sepi dan berdebu, tapi yang hidup oleh pertunjukan seni rakyat, diskusi antar generasi, penyimpanan arsip sejarah lokal, dan forum pertemuan nilai-nilai luhur.
Di sana, budaya bukan pajangan, melainkan kekuatan.
- Gunakan Media Rakyat untuk Menyuarakan Perjuangan
Kita tidak punya stasiun televisi nasional. Tapi kita punya radio bambu, media lokal, poster jalanan, pertunjukan rakyat, dan lisan yang tak pernah padam.
Kita lawan dominasi narasi yang selalu mengecilkan kita.
Buat radio komunitas yang mengabarkan kondisi kampung.
Tulis surat kabar adat yang menyiarkan kisah perjuangan dari hulu ke hilir.
Bangun pertunjukan seni dan dokumenter rakyat yang menceritakan perlawanan kita.
Media rakyat adalah senjata utama di tengah sunyi. Ia bisa menyentuh yang tak dijangkau oleh kamera berita.
PENUTUP
Merdeka bukan berarti lupa. Merdeka adalah kembali ke akar.
Dari tanah kita berpijak, dari adat kita bermula.
Maka dari situ juga kita membangun masa depan.
Ini bukan perjuangan sementara.
Ini adalah perjuangan hidup.
Perjuangan anak cucu kita.
Perjuangan agar Sumatra tidak kehilangan dirinya sendiri.
Mengangkat batang yang terendam harus dilakukan secara bersama-sama.
Ia tidak bisa dilakukan oleh satu wilayah adat saja.
Ia harus menjadi gerakan dari seluruh daratan Sumatra, dari Aceh hingga Lampung, dari pesisir hingga pegunungan, dari kota hingga pelosok kampung.
Karena batang yang terendam itu adalah kita.
- Juni Patoean Albaumi
Ahli waris Kerajaan Harajaon Luat Marancar yang bergelar Patuan Kumala Pontas Soaduon