(Catatan untuk Indonesia dari Sumatra)

Oleh Juni Patoean Albaumi
Sumatra: Pendiri Republik yang Dikesampingkan
Sejak republik ini dibentuk, Sumatra berdiri di garis depan perjuangan. Aceh menyumbangkan emas demi kemerdekaan. Minangkabau melahirkan tokoh-tokoh pergerakan dan intelektual besar. Tapanuli mengangkat senjata menolak penjajahan. Kami bukan penerima warisan republik kami pendirinya.
Namun setelah kemerdekaan, peran itu dilupakan. Kekayaan alam kami diangkut ke pusat, tapi pembangunan diabaikan. Ketika kami bicara soal keadilan, kami dianggap pembangkang. Ketika kami menyuarakan referendum, kami langsung dicap makar. Padahal, apa yang kami minta hanyalah pengakuan sebagai wilayah yang setara. Kami menuntut keadilan yang kami ikut perjuangkan sejak awal.
Tragedi 1946: Luka Sejarah yang Masih Membekas
Revolusi sosial yang terjadi di Sumatra tahun 1946 meninggalkan jejak kekerasan yang pahit. Dengan dalih menggulingkan feodalisme, para pemimpin adat, raja-raja lokal, dan bangsawan dibantai. Rumah adat dibakar, silsilah dihancurkan, dan nilai-nilai kearifan lokal dilenyapkan.
Ironisnya, yang dihancurkan bukan penjajah, melainkan pemimpin tradisional yang selama ini menjaga tanah ulayat, hukum adat, dan kehormatan masyarakat. Revolusi itu tak menyisakan keadilan, hanya ketakutan dan kehancuran. Ini adalah bentuk lain dari kolonialisme hanya saja dilakukan oleh saudara sendiri atas nama perubahan.
Janji Kemerdekaan yang Tak Pernah Tuntas
Tujuh dekade lebih republik ini berdiri, tapi banyak janji kemerdekaan hanya tinggal retorika. Di Sumatra, kebutuhan dasar seperti pelayanan kesehatan, pendidikan bermutu, dan infrastruktur pertanian masih jauh dari layak. Rakyat di pedalaman harus berjalan jauh untuk menemukan puskesmas, dan anak-anak masih belajar di sekolah reyot dengan guru yang tidak tetap.
Banyak masyarakat hidup dalam kesulitan. Pendapatan harian minim, banyak yang tidak memiliki rumah, dan hidup berpindah-pindah dalam kondisi yang tidak manusiawi. Lapangan pekerjaan pun tidak berpihak pada anak daerah. Pekerja asing dan pendatang dari Jawa lebih sering diprioritaskan, sementara putra-putri Sumatra menjadi penonton di tanah sendiri.
Negara hanya datang saat pemilu. Setelah itu, suara kami hilang ditelan kebijakan yang dibuat dari jauh tanpa pernah benar-benar memahami kebutuhan kami.
NKRI: Sebuah Sistem yang Telah Gagal
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk dengan harapan: kesatuan yang adil dan setara. Tapi kenyataan membuktikan sebaliknya. Sistem ini telah gagal menjaga keadilan. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Ekonomi terkonsentrasi di satu wilayah. Politik dikuasai dinasti dan oligarki. Korupsi menyebar seperti wabah.
Kami tidak lagi berbicara soal koreksi. Kami bicara soal keputusan. Kami bicara soal jalan keluar.
Referendum bukan ancaman. Itu hak demokratis. Bukan karena kami ingin membuat gaduh, tapi karena kami sudah jujur melihat kenyataan:
NKRI sudah rusak. Bubar adalah solusinya.
Referendum: Jalan Terakhir untuk Harga Diri
Selama ini kami telah sabar. Tapi kesabaran ada batasnya. Ketika semua jalan dialog ditutup, ketika kritik dibungkam, dan ketika ketidakadilan terus dibiarkan, maka referendum menjadi pilihan yang masuk akal dan bermartabat.
Kami ingin menentukan nasib sendiri. Kami ingin membangun sistem yang adil, berdasarkan nilai-nilai lokal kami sendiri. Kami tidak ingin terus bergantung pada negara yang tidak mau melihat luka dan derita kami.
Referendum bukan bentuk kebencian. Itu adalah bentuk kejujuran.
Penutup: Sumatra Akan Berdiri dengan Kepala Tegak
Kami, rakyat Sumatra, telah cukup bersabar. Kami bukan daerah taklukan. Kami bukan pelengkap penderita dalam republik ini. Kami telah memberikan darah, pikiran, dan kekayaan untuk republik ini. Tapi jika balasannya adalah pengabaian, maka kami berhak memilih untuk pergi.
Kami ingin pisah bukan karena benci, tapi karena kami mencintai diri kami sendiri. Kami ingin sistem yang adil. Kami ingin keadilan yang nyata. Kami ingin suara kami didengar, bukan hanya dihitung saat pemilu.
Sumatra bukan tanah jajahan. Kami akan berdiri sendiri jika memang itu satu-satunya jalan untuk menjaga martabat.
Referendum bukan makar. Referendum adalah cermin demokrasi. Dan kami akan menatap cermin itu, dengan kepala tegak, tanpa rasa takut.
Jayalah Sumatra
Merdeka Bangsaku
- Juni Patoean Albaumi
Aktivis Referendum Sumatra
Perjuangan yang sangat berat sekali ini 👍
Iya, ini memang berat. Tapi lebih berat mana berjuang hari ini, atau hidup seumur hidup dalam ketidakadilan dan diam ketika martabat diinjak? Kita bukan generasi penonton. Kita pewaris luka, pewaris marah, dan pewaris harga diri. Kalau kita menyerah sekarang, anak cucu kita akan mewarisi diam dan takut. Tapi kalau kita berdiri hari ini dengan segala luka dan keberanian maka mereka akan mewarisi kehormatan.
Allah tidak akan menolong kaum yang hanya duduk dan menunggu. Pertolongan itu datang pada mereka yang berani melangkah, walau gemetar. Keberhasilan tidak dijatuhkan dari langit ia ditarik turun oleh tangan-tangan yang tak gentar. Dan sekarang, tangan itu adalah milik kita.
Berat? Ya. Tapi jauh lebih berat jika kita kehilangan masa depan karena takut memulai hari ini.
Insya Allah akan dimudahkan.
Luruskan niat, Allah akan menolong dengan hal yang tak disangka – sangka
NeNFjU dZs RlLPMKka xhMdn EievYnvU NWYGoX