
Oleh Juni Patoean Albaumi
LAPORAN ILMIAH
Sistem Hukum Negara dan Ketidakadilan atas Hak Masyarakat Adat Luat Marancar Studi Kasus Tambang Emas Martabe
- Pendahuluan Warisan Leluhur yang Diabaikan Negara
Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat adat Luat Marancar sudah memiliki sistem pemerintahan sendiri yang disebut Harajaon, dengan wilayah jelas dan hukum adat yang ditaati. Wilayah mereka disebut Koeria Marantjar oleh pemerintah kolonial Belanda dan tercatat resmi. Tapi setelah kemerdekaan, negara datang dengan sistem hukum baru. Wilayah adat yang tidak pernah dijual, diserahkan, atau hilang, perlahan diklaim sebagai milik negara dan pemerintah daerah, tanpa musyawarah atau persetujuan dari pemilik aslinya.
Ini yang disebut penjajahan gaya baru: hak ulayat masyarakat adat tidak diakui, dan wilayah mereka diambil alih atas nama pembangunan dan investasi.
- Mengapa Pemerintah Daerah Bisa Dapat Saham 5% di PT Agincourt Resources
Saham 5% diberikan kepada Pemerintah Daerah melalui perusahaan daerah bernama PT Artha Nugraha Agung (PT ANA). Tapi perlu kita pahami:
Pemerintah daerah bukan pemilik tanah,
tidak punya surat jual beli,
tidak punya hak adat di wilayah itu.
Mereka hanya dapat saham karena posisi sebagai pemegang izin administratif. Mereka tidak punya hubungan historis dengan tanah itu, tetapi bisa dapat miliaran rupiah setiap tahun. Sementara masyarakat adat sebagai pemilik asli tanah tidak dapat sepeser pun.
- Mengapa Masyarakat Adat Tidak Diakui Secara Formal
Ada dua alasan utama:
- Negara menganggap sistem kerajaan adat telah dibubarkan, sehingga tidak perlu lagi mengakui masyarakat adat sebagai pemilik wilayah.
- Negara dan pemerintah daerah takut kehilangan kontrol atas sumber daya alam kalau masyarakat adat diakui secara hukum.
Ini bukan karena masyarakat adat tidak ada, tapi karena pengakuan itu akan meruntuhkan monopoli negara atas tanah dan kekayaan alam. Akibatnya, masyarakat adat yang menjaga tanah leluhur selama ratusan tahun, ditinggalkan dan dianggap tidak punya hak apapun.
- Simulasi Keuntungan Tambang Martabe dan Siapa yang Menikmatinya
Fakta Tahun 2023 (sumber: laporan publik PT Agincourt Resources):
Pendapatan Bersih: USD 340 juta (~Rp5,5 triliun)
Laba Bersih: USD 93,9 juta (~Rp1,53 triliun)
Saham 5% untuk PT ANA: USD 4,695 juta (~Rp76,5 miliar)
Fakta Tahun 2024 (proyeksi resmi):
Pendapatan: USD 557,9 juta (~Rp9,09 triliun)
Laba Bersih: USD 154 juta (~Rp2,5 triliun)
Dividen 5%: USD 7,7 juta (~Rp125 miliar)
Tanya langsung: uang sebanyak itu dipakai untuk apa?
Provinsi Sumut (30% dari PT ANA): Rp37,5 miliar
Kabupaten Tapanuli Selatan (70%): Rp87,5 miliar
Tapi apakah masyarakat adat Luat Marancar menikmati itu? Tidak. Bahkan pengakuan hak pun tidak ada.
- Ke Mana Dana Ini Mengalir?
Klaim pemerintah: “Untuk pembangunan daerah.” Tapi tidak ada bukti nyata dana itu membangun kampung-kampung adat atau memperbaiki kesejahteraan pemilik tanah asli. Jalan rusak, akses air buruk, pendidikan tidak diperhatikan. Bahkan sebagian masyarakat adat tidak tahu kalau tambang itu menghasilkan triliunan rupiah.
Lebih parah lagi, laporan menunjukkan dana ini sering bocor ke kantong pribadi pejabat, dipakai untuk proyek tidak jelas, dan tidak dilaporkan secara transparan.
- Penjajahan Gaya Baru: Negara Masih Menjajah Melalui Sistem Hukumnya Sendiri
Sistem hukum Indonesia hari ini belum memberikan keadilan kepada masyarakat adat. Meski UUD 1945 Pasal 18B (2) mengakui masyarakat adat, implementasinya nihil.
Faktanya:
Wilayah adat diambil tanpa musyawarah.
Negara jadi pemilik tanpa proses hukum adat.
Sumber daya dikuasai segelintir elite.
Masyarakat adat hanya jadi penonton di tanahnya sendiri.
Ini adalah bentuk penjajahan yang lebih halus dari kolonialisme. Dulu penjajah datang dari Belanda, sekarang penjajahnya adalah sistem hukum dan birokrasi negara sendiri.
- Kesimpulan dan Seruan Keadilan
Masyarakat Luat Marancar adalah pemilik sah wilayah tambang Martabe berdasarkan sejarah, adat, dan dokumen kolonial.
Pemerintah daerah mengambil alih wilayah itu tanpa dasar hak adat dan hanya berdasarkan sistem negara.
Dividen miliaran rupiah setiap tahun masuk ke pemerintah, tapi tidak pernah sampai kepada masyarakat adat.
Negara belum sungguh-sungguh membela rakyat adat.
Jika negara ingin disebut adil, maka pengakuan formal atas hak ulayat harus diberikan, dan pembagian keuntungan harus melibatkan pemilik tanah adat.
- Juni Patoean Albaumi
Aktivis Referendum Sumatra
HEsV JLyEF hmtqCZy pLQqOrnd AKj